Rabu, 7 September 2016
(Baca cerita sebelumnya disini)
Pagi itu benar-benar tak seperti pagi biasanya. Itu adalah
pagi pertama_setelah dua hari menikah_yang kami lalui di sebuah desa yang tak
jauh dari lokasi Makam Bung Karno di Blitar. Bagi Andi desa ini tentu tak asing
lagi , mengingat ia cukup sering berkunjung ke desa tersebut karena keluarga
besar dari pihak Ibu ada di sana. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Jika
biasanya ia datang seorang diri, kali ini ia tak datang dengan belahan hati.
Berkunjung ke sanak famili memang sudah menjadi rencana kami
ketika resmi menjadi suami istri. Bahkan termasuk rencana prioritas. Karena
kami percaya bahwa menikah bukan hanya tentang bersatunya dua manusia, tapi dua
keluarga besar. Maka ketika kami memutuskan untuk saling menerima, itu artinya
kami juga harus menerima keluarga yang ada. Dan langkah awal untuk bisa saling
menerima keluarga adalah dengan bersilaturrahim.
Ada hal menarik ketika kami bersilaturrahim ke rumah
keluarga. Beberapa di antara mereka ada yang menyelipkan uang saku ketika kami
pamit pulang. Ah, mungkin saja kami masih terlihat seperti anak-anak yang masih
cocok mendapatkan uang saku saat lebaran. Setidaknya itulah pengakuan kami
pribadi. Hehe.
Dari kejadian itu kami belajar bahwa berbagi itu perlu yang
namanya belajar. Di antara keluarga yang memberi uang saku tersebut ada yang
ekonominya pas-pasan, namun tak menyurutkan niatnya untuk memberi. Bagaimana
mungkin ia bisa dengan mudah membagikan sebagian rizkinya jika tidak melalui
proses belajar(?); belajar memahami bahwa harta hanyalah titipan, belajar membiasakan
berbagi kepada yang membutuhkan, belajar meyakini bahwa dengan bersedekah harta
tak kan berkurang.
Setelah selesai agenda silaturrahim, kami pun melanjutkan
aktivitas hari itu dengan mengunjungi salah satu ikon yang paling terkenal di
Kota Blitar, yaitu Makam Bung Karno. Kawasan makam ini memang selalu ramai
pengunjung, khususnya di Bulan Juni, di mana pada bulan tersebut ada peringatan
lahir dan wafatnya Sang Proklamator.
Untuk memasuki kawasan tersebut tidak perlu membayar tiket masuk, cukup
mengeluarkan uang seikhlasnya.
Di tempat tersebut kami tidak secara khusus mendatangi makam
Bung Karno, seperti yang dilakukan kebanyakan orang untuk “nyekar”. Selain
karena kami berprinsip bahwa hal tersebut kurang dibenarkan oleh agama, antrian
untuk melihat makam dari jarak dekat cukuplah panjang, barangkali hampir sama
dengan antrian untuk menonton Warkop DKI.
Kamipun lebih tertarik untuk mengunjungi museum yang ada di
dalam kawasan tersebut. Setidaknya kami jadi sedikit tahu bagaimana perjuangan
para founding father negeri ini dalam mengupayakan kemerdekaan. Karena kami
sampainya agak kesorean, tak lama
kemudian kami harus rela keluar karena tempat akan segera ditutup.
Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dengan mengelilingi
pusat Kota Blitar, termasuk mengunjungi alun-alun kota. Suasana diasna begitu
ramai. Ada yang skedar duduk-duduk, ada yang berlatih paskibra dan aktivitas
lainnya yang mungkin tak tertangkap mata kami. Well.. Tempat yang kami kunjungi
memang biasa-biasa saja, dan yang kami lakukan pun sebenarnya juga biasa-biasa
saja. Tapi semua terasa berbeda ketika menjalaninya bersama orang tercinta.
Karena hal-hal biasa akan menjadi istimewa, bahkan bisa bernilai pahala, ketika
dilakukan dalam ikatan yang dibenarkan oleh agama; pernikahan. Pun, sebuah perjalanan bukan destinasinya yang
terpenting, melainkan bersama siapa kita menjalaninya.
Mentari mulai beranjak ke peraduan, pertanda siang segera
berganti malam, menandakan kami harus segera kembali pulang, mengistirahatkan
tubuh yang mulai lelah dalam bahagia. Yap, sekian perjalanan kami hari ini. Baca perjalanan kami di hari ketiga
di postingan ini ya! :)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar