September 23, 2016

In Blitar With You (Kisah Sepasang Pejalan: Bagian II)


Rabu, 7 September 2016

(Baca cerita sebelumnya disini)

Pagi itu benar-benar tak seperti pagi biasanya. Itu adalah pagi pertama_setelah dua hari menikah_yang kami lalui di sebuah desa yang tak jauh dari lokasi Makam Bung Karno di Blitar. Bagi Andi desa ini tentu tak asing lagi , mengingat ia cukup sering berkunjung ke desa tersebut karena keluarga besar dari pihak Ibu ada di sana. Namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Jika biasanya ia datang seorang diri, kali ini ia tak datang dengan belahan hati.


Berkunjung ke sanak famili memang sudah menjadi rencana kami ketika resmi menjadi suami istri. Bahkan termasuk rencana prioritas. Karena kami percaya bahwa menikah bukan hanya tentang bersatunya dua manusia, tapi dua keluarga besar. Maka ketika kami memutuskan untuk saling menerima, itu artinya kami juga harus menerima keluarga yang ada. Dan langkah awal untuk bisa saling menerima keluarga adalah dengan bersilaturrahim.

Ada hal menarik ketika kami bersilaturrahim ke rumah keluarga. Beberapa di antara mereka ada yang menyelipkan uang saku ketika kami pamit pulang. Ah, mungkin saja kami masih terlihat seperti anak-anak yang masih cocok mendapatkan uang saku saat lebaran. Setidaknya itulah pengakuan kami pribadi. Hehe.

Dari kejadian itu kami belajar bahwa berbagi itu perlu yang namanya belajar. Di antara keluarga yang memberi uang saku tersebut ada yang ekonominya pas-pasan, namun tak menyurutkan niatnya untuk memberi. Bagaimana mungkin ia bisa dengan mudah membagikan sebagian rizkinya jika tidak melalui proses belajar(?); belajar memahami bahwa harta hanyalah titipan, belajar membiasakan berbagi kepada yang membutuhkan, belajar meyakini bahwa dengan bersedekah harta tak kan berkurang.

Setelah selesai agenda silaturrahim, kami pun melanjutkan aktivitas hari itu dengan mengunjungi salah satu ikon yang paling terkenal di Kota Blitar, yaitu Makam Bung Karno. Kawasan makam ini memang selalu ramai pengunjung, khususnya di Bulan Juni, di mana pada bulan tersebut ada peringatan lahir dan wafatnya Sang Proklamator.  Untuk memasuki kawasan tersebut tidak perlu membayar tiket masuk, cukup mengeluarkan uang seikhlasnya.

Di tempat tersebut kami tidak secara khusus mendatangi makam Bung Karno, seperti yang dilakukan kebanyakan orang untuk “nyekar”. Selain karena kami berprinsip bahwa hal tersebut kurang dibenarkan oleh agama, antrian untuk melihat makam dari jarak dekat cukuplah panjang, barangkali hampir sama dengan antrian untuk menonton Warkop DKI.

Kamipun lebih tertarik untuk mengunjungi museum yang ada di dalam kawasan tersebut. Setidaknya kami jadi sedikit tahu bagaimana perjuangan para founding father negeri ini dalam mengupayakan kemerdekaan. Karena kami sampainya agak kesorean,  tak lama kemudian kami harus rela keluar karena tempat akan segera ditutup.

Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dengan mengelilingi pusat Kota Blitar, termasuk mengunjungi alun-alun kota. Suasana diasna begitu ramai. Ada yang skedar duduk-duduk, ada yang berlatih paskibra dan aktivitas lainnya yang mungkin tak tertangkap mata kami. Well.. Tempat yang kami kunjungi memang biasa-biasa saja, dan yang kami lakukan pun sebenarnya juga biasa-biasa saja. Tapi semua terasa berbeda ketika menjalaninya bersama orang tercinta. Karena hal-hal biasa akan menjadi istimewa, bahkan bisa bernilai pahala, ketika dilakukan dalam ikatan yang dibenarkan oleh agama; pernikahan.  Pun, sebuah perjalanan bukan destinasinya yang terpenting, melainkan bersama siapa kita menjalaninya.


Mentari mulai beranjak ke peraduan, pertanda siang segera berganti malam, menandakan kami harus segera kembali pulang, mengistirahatkan tubuh yang mulai lelah dalam bahagia. Yap, sekian perjalanan kami hari ini. Baca perjalanan kami  di hari ketiga di postingan ini ya! :)



Tidak ada komentar :

Posting Komentar